Indonesia mengumumkan pada hari Kamis bahwa mereka akan mulai mengatur budidaya dan ekspor kratom, suatu zat yang menurut para pendukungnya dapat membantu meredakan nyeri dan memiliki manfaat lainnya, namun terdaftar di AS sebagai obat yang perlu diwaspadai.
Pengawasan terhadap daun pohon asli Asia Tenggara ini akan meningkatkan kualitas produk, kata Kepala Staf Presiden, Moeldoko, kepada wartawan. “Sejumlah eksportir kami mengalami penolakan karena produk mereka telah terkontaminasi,” ujarnya.
Masyarakat di bagian Kalimantan Indonesia telah menanam dan mengonsumsi kratom selama beberapa generasi, menggunakannya sebagai pengobatan tradisional untuk berbagai penyakit.
Daun kratom, yang juga ditanam, dijual, dan diekspor di seluruh wilayah, telah digunakan dalam produk yang menjanjikan untuk meredakan nyeri, kecemasan, dan depresi serta membantu orang yang mengalami gangguan penggunaan opioid dan penarikan opioid.
Namun, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) mengatakan bahwa kratom memiliki efek yang mirip dengan narkotika seperti opioid, telah mencantumkannya sebagai “obat dan bahan kimia yang perlu diwaspadai” dan belum menyetujui penggunaannya untuk keperluan medis apapun.
Presiden Indonesia Joko Widodo telah menginstruksikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk meneliti konsumsi kratom, terutama dosisnya, kata Moeldoko.
Di bawah peraturan baru yang direncanakan, pemerintah juga akan membatasi jumlah perusahaan yang diizinkan untuk mengekspor kratom sebagai upaya untuk menjaga standar, tambahnya.
Saat ditanya tentang pelarangan penggunaan kratom di sejumlah negara, Moeldoko mengatakan setidaknya 20 pasar tertarik untuk mengimpor kratom dari Indonesia.